Selasa, 19 Februari 2008

Genaplah Gado-gado di Korps Marinir


Betul. Tragedi tenggelamnya tank amfibi Korps Marinir TNI Angkatan Laut yang menelan delapan nyawa prajurit saat Latihan Armada Jaya XXVII-2008 di perairan Laut Jawa, di lepas Pantai Banongan, Situbondo, tidak meninggalkan trauma bagi prajurit Korps Marinir.

”Sebab itu pekerjaan kami sehari-hari. Semuanya akan berlangsung normal sekalipun tank amfibi yang digunakan sudah berumur tua karena laut dan cuaca buruk itu sahabat Marinir,” tutur Letnan Kolonel Mar Bambang Sus, Komandan Resimen Kavaleri-2 Marinir yang berada di bawah komando Pasukan Marinir II Jakarta.

Korps Marinir memiliki sejumlah kendaraan tempur (ranpur) dengan kemampuan bertarung di darat dan laut. Ranpur itu sering disebut amfibi.

Ada jenis tank amfibi PT-76 yang diproduksi Uni Soviet pada tahun 1960-an. Amfibi model PT-76 ini mencapai 122 unit, seperti yang disampaikan Mayor Jenderal Mar (Purn) Achmad Rifai saat masih menjadi Komandan Korps Marinir.

Korps Marinir TNI AL tengah berupaya melakukan peremajaan kendaraan perang ini dengan yang jauh lebih canggih, yakni BMP-3F yang juga buatan Rusia. Tank amfibi jenis BMP-3F ini di produksi tahun 1994, tetapi mulai dimanfaatkan sejumlah negara pada tahun 1997.

Ada lagi tank jenis Kapa K-61 yang juga buatan Uni Soviet tahun 1961, yang jumlahnya tinggal 42 unit. Pengadaan kedua jenis ranpur itu terjadi pada zaman Bung Karno, sebelum pelaksanaan Trikora (Tiga Komando Rakyat).

Satu lagi ranpur yang juga menjadi sisa Trikora adalah tank amfibi jenis BTR-50. Ranpur inilah yang minggu ini menjadi bahan pembicaraan menyusul tragedi Banongan pada 2 Februari lalu.

Tank amfibi jenis BTR yang juga merupakan hasil produksi Uni Soviet ini sebenarnya ada empat jenis yang dimiliki Marinir. Jenis pertama adalah BTR-50P dibuat tahun 1960. Khusus untuk jenis BTR-50P ini punya mesin berkemampuan 240 PK.

BTR-50P ini diawaki tiga prajurit, dengan kemampuan angkut 20 prajurit Intai Amfibi atau pasukan sejenisnya.

Jenis lainnya adalah BTR-50PM yang dibuat tahun 1962. Jenis ini diawaki tiga prajurit dan bisa membawa 18 prajurit pendaratan. Baik BTR-50P maupun BTR-50PM dilengkapi persenjataan GPMG 7,62 milimeter.

Masih ada satu lagi panser amfibi jenis BTR dari kelas yang juga terhitung lama, yakni BTR-50PK. Panser amfibi ini memiliki kemampuan angkut prajurit yang sama dengan BTR-50P. Ketiga panser amfibi dari jenis BTR-50 memiliki kemampuan jelajah yang sama. BTR-50PK memiliki kemampuan membawa bahan bakar dua kali lipat kedua jenis lainnya. Namun kemampuan tempuh ketiga jenis ini sama. BTR-50 memiliki kecepatan sekitar 10 kilometer per jam.

Karena tangki bahan bakar yang dimiliki mempunyai kemampuan isi sekitar 200-240 liter, maka ketiga jenis BTR-50 ini memiliki kemampuan operasional sampai delapan jam. Sedangkan untuk mundurnya hanya separuh kecepatan maju.

Kecepatan di laut jauh berbeda dengan di daratan. Mengingat pasukan pendaratan selalu harus waspada, maka kemampuan manuver BTR-50 di darat hanya didukung kecepatan lari antara 40 dan 45 kilometer per jam saja.

”Sebagian besar jenis BTR-50 ini telah mengalami retrofit yang dilaksanakan mulai tahun 1987 hingga terakhir tahun 1996. Retrofit yang paling penting adalah mengganti mesin aslinya dengan mesin V8 Detroit,” ujar Letkol Mar Novarin Guinawan, Kepala Dinas Penerangan Korps Marinir.

Masih ada lagi jenis tank amfibi jenis BTR, yakni BTR-80A. Tank ini pembuatannya sudah jauh lebih mudah karena dibuat tahun 1990. Pasukan lebih senang menggunakan tipe BTR-50 yang jauh lebih kokoh. Ini mengingat semua jenis BTR-50 masih menggunakan ban dari rantai baja. Itu sebabnya dalam pendaratan jenis BTR-50 lebih andal dalam menembus barikade pasukan lawan dengan kekuatan persenjataan infanteri ataupun artileri.

Sementara BTR-80A sekalipun badan kendaraan amfibinya masih terbuat dari baja, bannya menggunakan ban karet yang terdiri dari empat pasang. Itu sebabnya dalam penyerangan kendaraan jenis ini dijadikan sebagai kendaraan pendaratan setelah tank amfibi menguasai areal pantai lawan.

Jenis BTR-80A yang diawaki tiga prajurit serta memiliki kemampuan angkut tujuh prajurit saja hanya didukung kecepatan di laut yang cuma 8 hingga 9 kilometer per jam. Dan, saat ini tank amfibi BTR-80A ini tengah digunakan untuk mendukung pasukan Korps Marinir yang bertugas di Kongo. Operasional terakhir semua jenis tank amfibi Korps Marinir itu adalah di Nanggroe Aceh Darussalam.

Semua jenis tank amfibi BTR ini dilengkapi dengan pompa pembuang air. Itu sebabnya tank amfibi BTR ini memiliki kemampuan menerjang gelombang setinggi 2 meter. Makanya, hingga kini perwira TNI AL masih melakukan penyidikan guna mengetahui apa yang menjadi penyebab tenggelamnya BTR-50PM di Banongan.

Dengan bekal pengetahuan penyebab yang kini tengah direkonstruksi itu, ke depan prajurit pengawak tank amfibi BTR diharapkan tidak lagi mengulangi hal yang sama.

Sebelum tragedi Banongan 2 Februari, Komandan Korps Marinir Mayjen Mar Nono Sampono dan beberapa perwira melakukan kunjungan persahabatan ke Markas Komando Korps Marinir Korea Selatan di Kota Suwon.

Hasil pembicaraan Nono dengan Letnan Jenderal Mar Lee Sang-ro, Komandan Korps Marinir Korea Selatan, berupa rencana penghibahan 35 tank amfibi jenis LVT-7 milik Korps Marinir Korea Selatan kepada Korps Marinir Indonesia. Rencananya, Oktober nanti diserahkan 15 unit terlebih dahulu.

Tank amfibi LVT-7 ini merupakan hasil modifikasi dari jenis LVT yang memiliki julukan Alligator. Tank amfibi ini pertama kali dibuat pada tahun 1935 oleh Donald Roebling, untuk kemudian dimanfaatkan jajaran Korps Marinir Amerika Serikat. LVT-7 pertama kali dikeluarkan pada tahun 197


Sumber: www.kompas.co.id

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger